Friday 7 November 2008

SIDANG SENI ANGIN SI PAUH JANGGI

KULIAH dari Bagong Kusdiardjo mengajar kami, seorang penari harus belajar floor design. Pelukis pula harus ikut kuliah latihan suara teater. Pemuzik pula akan memikir fesyen busana untuk bergaya di pentas. Untuk semua seniman, akal harus diodok (kacau) dengan dialog selain monolog pribadi. Barangkali inilah tradisi yang kami mulakan hingga sanggup bertegang pendapat dengan mestro Piayadasa. Pada hal dalam usia 24 tahun (1975) itu saya belum apa-apa. Berani saja melontar dan mencatat pandangan yang ketika itu memang banyak cacatnya untuk memahami teori yang dilempar oleh Piya dan Sulaiman Esa (Untuk itu sila rujuk Dewan Sastera 1970han). Mujur di belakang saya ada yang memberi semangat iaitu Allahyarham Ismail Zain, mendiang Krishen Jit dan Usman Awang. Pengalaman ini saya heret setiap kali mengikuti acara dialog/diskusi/sidang seni.
Acara begini sudah sepi di Sudut Penulis DBP. Mujur masih dapat menumpang idea di BSLN dan akhir-akhir ini di RA Fine Arts Gallery. Masih banyak galeri swasta lain, seperti Pelita Hati, NN Gallery, VWilly, dan banyak lagi...namun dialog seni kurang mendapat liputan WARTAWAN MELAYU. Ruang Seni UM, BH hanya memusatkan (pusat) sorotan anak wayang, pelakon dan penyanyi. Kalau ada ruang pelukis, hanya komentar selintas tanpa menyelitkan daya pikiran penulis ataupun pelukis yang disorot.
Barangkali perasaan kering makin melanda - mujur juga Prof Dr Zakaria Ali dari UPSI tidak letih-letihnya mengheret pelajarnya (dulu dari USM). Beliau adalah guru seni, pengkritik, sejarawan seni lukis, penyair dan pelukis - yang tahu resah hati seniman seni rupa. Selama bincang atau sidang seni, mana pengkrtik yang sudi berfikir dan menghentam karya lukisan Angin Si Pauh Janggi- kalau lah saya masih di Jogja, aduh, Nyoman Gunarwsa pasti menyengat, Made Wianta pasti terkekeh mengetawai lukisanku. Belum lagi wartawan yang datang bertanya dan minta wang sagu hati untuk mengisi pujuk ruangannya.
Wal hasil pelajar Dr Z hanya mampu bertanya teori warna panas dingin, atau kenapa memilih tema Makyong . Akhirnya hanya rintihan seniman yang dilupakan ...nasib seniman negara yang terabai...lalu keluh atau penjelasan Seniman Negara Prof Dr Muhammad Haji Salleh, "...kita kagum, Vietnam yang miskin material tapi amat menghormati guru atau seniman...para pelajar berderet menghormati hari kematian tokoh seniman....."
Entahlah Neem...nampaknya BSLN sudah memartabatkan tugas kolektor, hingga buat pameran besar-besaran koleksi Allahyarham Rahimei Harun. TAHNIAH. Tapi semalam saya berada di Shah Alam untuk mengikuti dialog Dasar Kebudyaan Kebangsaan....dengan masalah kebebasan seni " - itupun nak tahu apa yang dilakukan oleh Jabatan Kebudayaan Negeri. Tapi yang memeranjatkan kami, bila muncul seorang Pegawai KeKKWa yang bertanya, " Saya tak fahampun Dasar Kebudayaan Kebangsaan". Jadi bagaimana dia boleh dilantik sebagai pegawai di rumah kebudayaan itu? MasyaAllah
Gombak
07112008
21:32

3 comments:

Anonymous said...

tak apa-apa kak, yang penting budak-budak belia masih bergairah untuk bertanya dan terlibat jauh dengan aktiviti keseniaan, terutama seni visual khasnya lagi seni rupa murni-fine art seperti yang telah kak lakukan sepanjang sejarah di jalan malioboro tempo dulu. saya rase kak adalah pelukis semenanjung yang paling beruntung punya sejarah penjelajahan seni macam itu. salute, but need re-create next generation! (tahniah; atjeh-moorden)

SITI ZAINON ISMAIL said...

Baru pulang dari Gua Niah di Sarawak, 400,000 tahun dulu telah wujud seni lukis dinding(lebig moden, bukan seni primitif lah). Terpanpan nenek moyang bangsa begitu kreatif dengan imaginasi pelayaran dari laut ke dunia kayangan. Salam atjeh moorden ya

Anonymous said...

wow! dahsyat hebat otu kak! bisa seperti I LAGALIGO di makassar yang boleh menjadi kitab asal kejadian bangsa serawak nantinya. Terimakasih Kak! _atjeh moorden