Saturday 17 November 2012

I La Galigo 2012

1.

CERITRA itu belum selesai. Sejak menemuinya dalam usaha mencari tapak tenunan Bugis di Mandar dan Singkang, saya harus menyelak I La Galigo kembali. Sejak masuk ke Ujung Pandang 1986, 1994 dan terbaru , tahun ini saya harus bersayap lagi ke tanah tenunan purba di kota lama. I La Galigo tidak pernah selesai dibaca. Mencatat nama Batara Guru putera Datu Patotoe penguasai istana agung  kahyangan - Bottollangi. Putera   harus dilempar ke luar dari  kahyayang ke bumi manusia meninggalkan   Bottilangi dan dia akan didampingi perempuan utama bila berjodoh dengan saudara sepupu, puteri sulung Raja Air Sinaung Toja. Itulah puteri  We Nyiliktimo. 

Sungguh perit untuk  mengingati nama dengan lidah bahasa Bugis Makassar. Tetapi itulah tugas mengumpul data tenunan Mandar dan Singkang. Sarung atau kain Bugis Lamo tenunan bercorak petak kecil memang dari Manda. Sarung bercorak berhias benang emas dan berbunga sendayong, pula asal Singkang. Dan saya harus menerobos dunia kayangan Bottilagi, batas kahyangan di tingkat ke tujuh, hanya untuk mendapatkan cerita kebesaran para ratu dengan busana agung Sinaung Toja ayahanda puteri, sarung bungawaru corak naga, berbaju sutera bersulam emas Toddatojja, berhias bunga matahari dari Lettenwiru. Semua nama motif dan ragamhias disebut bersasar nama sipemakai dan pemilik khas turun temurun. Tidak dapat diperikan jenis bunga dan jumlah kelopak untuk mudah dibandingkan dengan flora alam semula jadi. Semua sudah diolah dan menjadi milik setia istana di kahyangan di bumi dan di lautan.  Akhirnya si pengkaji atau si pemakai di luar milik daerah asalnya hanya menyebut sebagai kain Bugis walau sipemakainya orang Makassar. 

Ini bukan hanya cerita dengan kebesaran bayangan. Carilah itu! Bukankah itu pesan Pak Tua Haji Biang kemudian berganti nama Arenawati. 

2.

Batara Guru sudah terlempar ke bumi, di bawah lapisan langit paling akhir. Berduka kerana harus meninggalkan kasih sayang , ayahahanda Datu Patotoe dan ibunda tercinta. Dia sudah melepas, lapisan awan bergelombang, putih kapas, kelabu dan ungu biru dipanah mentari berkilauan sepanjang menjelang senja jatuh ke bumi jagat raya. Bersendirian dapatkah anda bayangkan putera raja dilempar ke bumintara yang sunyi entah di mana di bawah kolong langit pancaroba?  Masih terasa wangi tubuh disirami perasan limau, langir berbusa bagi menghilang bau orang Senrijawa

 Gumam Betara Guru, 
' Tetapi aku sendirian di sini. Untuk apa menangisi takdir kalau Sang Maha Kuasa telah menempatkannya di ruang batas alam bagi  menjadikan bumi lebih berluasa dengan flora dan faun dan dia putera tanpa jasad di kayangan kini menjelma seutuh haiwan berjiwa bermata fikir dan cinta, memandang langit bermentari siang dan malam berbulan. '

Saujana! 
Dan saya sendiri bukan We Nyiliktimo untuk membujuk  Betara Guru walau saya sendiri setengah mati ingin bertemu putera Datu Patoto! 


3.


Pantai  Losari ketika itu bersih lapang dan pasirnya bersinar kala mentari terik dan berkilau emas kala teja senja makin merunduk di horizon laut dan langit.  Bukankah di situ munculnya jemari We  Nyiliktimo , menjurai rambutnya  menggelinting sinar mutiara dalam hujan bergemuruh kerana telah dijanjikan..kau menjadi pendamping Betara Guru. Tingallah istana laut, tinggallah taman tumbu karang teruma ada dunia di sana, dunia bumi dan Betara Guru tidak lagi bergundah kelana sejak We Nyilikktimo bersanding bersama di petakrana. Itulah silasilah I La Galigo. Kenapa kau tersentak? Itulah kau, Itulah Saya tersedak menatap sehelai kain sarung tenunan di kota lama milik waris Betara Guru ! 

Tenunan itulah saya lihat berkibar bagai kain layar terbentang dengan gahnya di tiang gantungan kapal pinisi, melambai gagah di puncak batu karang, terapung dalam deru angin penanda bermulanya gelora laut Selat Makassar.  Deru angin itu juga bagai gema gelombang awan, mengaum masuk ke cuping, berlegar ke tengokorok , berdegup di jantung dan darah menderas teralir ke wajah. Wajahnya merah berbinar...ada yang bersuara. Dengar dengan telita..Sang Aku, saya bersuara di batin. Memang ada layar pinisi berkilauan dalam gelora angin dan panah mentari menjelang senja menuju detik Magrib. Azan bergema lantang sayup beralun...Saya masih di Losari.


4.

" Bukalah kitab I La Galigo !".

 Itulah pesan Pak Tua Haji Biang ketika kami berdebat karya beliau, Sudara. 

"Kita bersaudara walapun di mana saja ". Sampuk Daeng Asari, jejaka Ana' Arung dari waris kerajaan Gowa titih dan kerabat Sultan Hasanuddin yang mangkat setelah kecewa dengan Perjanjian Bungagaya 18 November 1667. Panjangnya jarak waktu dan kami bertemu setelah lebih 300 tahun lalu.    Tetapi kami bukan berdebat di Benteng Somba Opu yang sudah dirampas Belanda, sebaliknya kami sudah bertenggek di laman  Dataran Merdeka Kuala Lumpur. Daeng Asari sedang menyelesai tesisnya Ph.d di kampus UKM. Matanya berbinar menatap bendera jalur gemilang di puncak tiang menjulang ke udara.  Kami sengaja memilih laman terbuka sambil meratah kacang goreng dan menghirup teh tarikh yang kami bekal dari Pasar Seni di seberang Sungai Gombak. Pak Tua Haji Biang sudah lama meninggalkan kami. Tetapi rohnya tetap menyelinap di jiwa kami yang mengutip cerita Arung Pallaka.



 (...bersambung)