Thursday, 14 July 2011

SEHELAI DAUN BUAT MINA

" WANITA , yang bakal bakal menjangkau usia 40 tahun ,
nah - kalau lihat lah kerus air Musi itu
lelah helang menuju benua
dan kering daun, gugur
itulah potretku , Irman..."
Irman menatap mata di sisinya. Tetapi aneh dia tidak melihat keruh air sungai Musi. Tidak mendengar lelah helang walau kerap terdesau gelepar sayap burung itu. Daun keringpun gugur, bukankah wanita itu yang kerap mengujmpul helaian daunan kering, menatap dan memilih, menyelipnya di celah helai buka notanya. Mina . Kau aneh saja. tiba-tiba mahu saja dia memeluk pinggang ramping Mina. Mina yang tinggi lampai. Langkahnya teratur walau pun jalannya begitu cepat mendaki bukit sambil meredah semak-semak di sepanjang lorong ke puncak Seguntang. Bahunya sarat. Beg (tas) sandang di sebelah kiri. Kamera di sebelah kanan. Sejak dari mula pertemunan di Tabing. Sebelum tiba di bandara Sultan Mahmud Badaruddin. Ketika jalur Musi dilihat melingkar dari pandangan udara, rasnya yang meliuk dan mengibas-ngibas ialah hantaran harum rambut wanita itu. Pasti wartawan. Jelas. Mina mengenalkan dirinya ketika dia meletak berk di halam luar bandara . Irman terkilas dengan kartu nama yang tergantung di leher tangkai beg sandang. Nama: Mina (kemudian disebutnya, Siti Aminah - jelas nama Melayu tradisi). Pekerjaan : Penulis. Tambahnya lagi, penulis kembara.
" Penulis Kembara ? O, kerja yang menarik "
Dan wanita, Minapun melambai teksi. Aneh dia pula yang segera mengangkat beg Mina ke dalam teksi. Dia juga membayar tambang teksi. Hampir saja terjadi pergaduhan kecil bila Mina menolak wang huluran Irman. Mina mendelik curiga. entah kenapa juga Irman seakan tercabar dengan gaya wanita yang telah diintipi geraknya sejak hampir sejam pernerbangan. Segera idea terus terangnya muncul menyelesaikan teka-teki pertama,
" Anda, tetamuku di negeri ini. Nah! Selamat bertemu dengan jejak nenek moyangmu di kaki Bukit Seguntang nanti. Selamat ".
" Bukit Seguntang? Kau tahu tujuanku ke sini? Oh, Tuhan".


Entah angin dari mana atau arus dari arah mana, selepasnya , Irmanlah yang menghantar Mina hingga ke lobi Swarnadhipa . Hotel ini menjadi pilihan pertama Mina sejak matanya mula merayap mencari hotel di Palembang. Swarnadhipa . Pulau Emas. Inikah pulau yang penuh emas, kala I Tsing pertama kali menjejak kakinya bila Sanjaya mula melebarkan sayapnya hingga ke pulau-pulau cengkih lainnya. Atau begitukah jadinya , bila Sapurba meninggalkan Batanghari dan Musi mencari tapak baru di Inderagiri sebelum membina tapak baru di istana Pagarruyung. Enam bulan lalu telah disimpulnya dalam rencara terpanjang tentang asal usul Datuk Perpatih Nan Sebatang, tentang Bunda Kandung dan Cindo Mato. Kala Indera Iskandar memberinya berita tambo, dia telah mengutip salung sepi jauh di kaki Merapi, di celah Bengkaweh dan gerimis di Ambunpagi. Indera lah yang memberi peta lengkap, kerana dia tahu Mina harus mencari tapak sang Sapurba asal. Mungkin juga akan ke sana. Bisa Indera.


Memang Mina mencari tapak itu. apakah ini telah diketahui Irman juga? Mina menatap mata lelaki segak di depannya. Selintas dia melihat mata Indera juga di situ. Mungkin kerana jalur senyum tipis daripada bibirnya. Atau profil muka bujur. Tetapi Indera hanya mengucapkan salam perpisahan ketika Mina melangkah meninggalkan Tabing. Indera turut memberi bisikan, supaya berhati-hati di Palembang. Inderalah meremas bahunya hangat. Membuka kalung lehernya, " ...Supaya kau tidak diekori perompak!" Hampir saja Mina tidak jadi berangkat bila didengarinya keluh Indera, " Hati-hati di sana, aku tidak dapat menemanimu. Tapi kutitipi hatiku sepanjang perjalananmu". Tetapi kini di Palembang muncul pula Irman. Begitu cepat putaran hari. Irman ... sehelai daun tiba-tiba gugur. Mina cepat mendongak ke atas. Dilihatnya pohonan angsoka begitu gagah. Tinggi dan kembang dengan dahan-dahan yang bercabang. Segera dia mengutip daun angsoka kering itu. Cepat juga dia meneliti urat daun yang menjulur, menirus hingga ke hujung. Irman masih berdiri di sisinya . Seharusnya lelaki itu tidak ada lagi di sampingnya. Dia semestinya sudah berada di gudang perusahaan orang tuanya di kota. Atau paling istimewa semestinya berada di sisi pacar yang pasti menunggu ketibaabnya setiap hujung minggu di kota Sanjaya.


Dari puncak bukit, memandang ke barat kelihatan liuk Musi yang keruh. Tompokan jaluran perahu dan kapal-kapal berlabuh serta bumbungan rumah sepanjang alir sungai itu. Mina terfikir sejenak. Pemandangan itu telah cukup sebagai intro laporannya nanti. Pasti Pak Lukman senang dengan cara catatannya untuk ruang sepanjang jalan di majalah bulanan. ketua editor itu telah memberinya kebebasan penuh bila dia merakam nilai-nilai sosiobudaya. Merakam hal bentrokan masyarakat dalam arus pertembungan nilai urbanisasi.


Bukankah Pak Lukman yang sering mendapatkan tajaan untuk perjalanannya sebagai penulis kembara. Gila ! Gerutu pegawai kewangan pejabatnya (kantor) yang tidak setuju dengan tugas Mina. Tegasnya..." Mana ada jawatan tetap Penulis Kembara ? " Tetapi itulah idea Mina sendiri. Dia ingin menulis. Bekerja sebagai wartawan sambilan. Tetapi tidak senang dengan tugas-tugas terburu seorang wartawan. Ulahnya memang memeningkan Pak Lukman . Tetapi Pak Lukman tutrur tertarik dengan hobi anak buahnya. Menulis sambil berjalan? Okey saja.


Hanya sebuah saja rumah yang ditemui Mina di puncak Seguntang. Setelah meredah lorong semak hampir setengah jam, mereka pun berteduh di bawah pohon angsoka. Jelas, nama bukit yang telah lama menyentak -nyentak perjalanan hariannya hanya tanah tinggi yang merupakan tempat makam keluarga Raja-raja lama. Makam Raja-raja silam dicatat dengan deretan nama yang memang pernah ditemuinya dari senarai kitab-kirtab purba. Mungkin nama Segentar Alam itu menarik perhatiannya. Nama yang muncul sejajar sebelum kemunculan Seriwijaya. Nah, inilah titih awal Melayu. Dia teringatkan lagi cerita Indera, tentang Iskandar Agung. Tetapi sekarang dijelaskan oleh Irman. Segentar Alam disebut juga Iskandar Alam. Tetapi jauh di seberang sana, ketika berada di tanah Acheh, Seri Lanang telah mencatat tentang keturunan Iskandar Zulkarnain. Irman tiba-tiba ketawa. Suaranya bebas cerah. Mina tertarya, kemudian dikutipnya ocehan Irman,


" Kau percaya dongenganku ?"


" Aku suka dongeng. Tapi bukan dongenganmu? Ayuh serius kawan. Kau tidak main-main kan. Atau memang ada yang melucukan ? "


" Tidak, aku senang dengan gayamu...atau begitukah cara penulis kembara?


Ya, beginilah dongengan itu...bila Tuan Puteri Rambut Seleko, diintip Pangeran Jawa, tetapi hatinya telah terpaut dengan Pujangga Lela dari Bukit Sitinjau Laut...Dia telah siap dengan tenunan naga berlaga. Serta sumping berkilat disepuh emas sepuluh. Sayang Pujangga terlewat tiba dan Pengeran Jawa telah sedia dengan tambur dan gong penabuh. Hanya kisah. Puteri Rambut Selako... aaa pernah kau baca tambo begitu di Ranah Minang ?"


Bukankah begitu juga yang dikutipnya dari mulut Indera ketika mereka bersama menghirup kawa daun (kopi daun) di perjalanan ke Batusangkar, bercelahan sisa langit akhir bulan Mac seminggu lalu? Seperti dongeng Puti Bungsi dengan Putera Jawa, tetapi bukankah Sang Pujangga yang berhasil mengalahkan desah amarah mamak sebelum tumpah darah percintaan dan permusuhan yang tidak pernah selesai di halaman nan berpanas?


" Tapi itu tidak penting. Kau tentu lebih arif tentang Demang Selebar Daun. Atau Sang Sapurba. Tengatang perompak Cina dan kesunyian Swarnadhipa selama hampir 200 tahun sebelum munculnya Singasari pada abad ke 13..."


" Serta kemunculan keturunan Raden atau Ki Mas atu Bagus Karang. Dan anda putera Bagus Irmanto? Nah, selamat berkenalan, akulah Siti Aminah binti Ali Usman. Setelah Batanghari dan Muara Jambi, moyangku ke Muara takus terus ke Tanjung Batu..."




(....bersambung )

No comments: