(sambungan ...)
" Lalu terus ke Bentan, lantas ke Hujung Tanah, ke , ke, ke Melaka, haa,haaa..."
Itulah ledak ketawa Irman. Itu jugalah hilai ketawa Mina. Kini Mina telah menambah dongeng dalam buku catatannya. Kepalanya sarat dengan pandangan muara dengan layar kapal yang berlabuh . Di situ ada kapal dari Maroco, kapal dari Maharajajendra Cola, dari Gujerat pengawal angkatan Sanjaya dan berikut tiba juga senarai Susuhan Ki Mas Hinda atau Almarhum Sultan Abd Rahman sebelum Mahmud Badaruddin Prabu Anum atau dia si Bagus Irmanto dan aku Nyi Mas Mina ha, ha ...
Pak Mansur, tuan punya rumah (lebih tepat disebut pondok) terus saja bercerita. Kononnya dialah pewaris tanah di puncak Seguntang. Dialah pengawal dan membersih makam -makam raja di situ. Moyangnya yang menanam pohonan mahoni, bungor, rukam, kerkup atau angsoka yang telah tinggi menua. Sehingga puncak Seguntang seakan meredup dan teduh . Dari jauh kelihatan bagai tompokan payung. Mina mencatat dalam bukunya ' inilah rimbun pelindung angsoka'.
" Dan aku pemayungnya", tambah Irman.
Tetapi dalam benak Mina, lebih tertumpu kepada bicara penghuni bukti itu sendiri (bersama isterinya) yang berkebun kopi dan kelapa di bukit itu. Juga memelihara ayam dan kambing. Menjadikan bukit itu berpenghuni. Dengan tiga orang anaknya yang masih kecil, Pak Mansur seakan gembira melayan pertanyaan Mina. Dulu, begitu Mina mencatat cerita Pak Mansur ..." Pak Adam Malik datang. Tiba-tiba saja dahan mohoni patah. Hujan ribut serta merta. Tidak lama kemudian ada utusan datang. doa selamat dibuat di puncak bukit ini..." Begitu luahan Pak Mansur yang dibaca semula oleh Mina ketika dia sendirian di kamar Swarnadhipa. Setelah pulang senja itu, Mina kembali melihat catatan lain yang lebih padat, mencatat renungannya sendiri.
Esoknya, ketika terjaga lebih pagi dia menyusur tebing Sungai Musi di bawah jambatan Ampera, tiba-tiba saja telah menongol bayang Irman. Tidak itu saja, yang turut terhambur di bibirnya ialah patah-patah suara dari sajak Rendra. Mina bagai terjebak dengan nada dan ajakan sosial yang keras paduan hati Rendrea dengan lenggok keras suara lelaki itu pula. Tetapi anehnya, kelibat Indera lebih menikam sukmanya. Mina bagai melihat getaran bibir Indera ketika berbicara. Pandangan sayu dengan bayan chaya yang menembus langir rindu. Bahasa yang disamopaikan lewat keluh dan hunjaman mata tanpa berkedip. Barangkali ketawa Irman yang sering berderai cepat menyedar Mina daripada berhalusi jauh. Di depannya air Sungai Musi memang keruh sert aberbau hamis. Pondok-pondok pasar dan kesibukan peniaga serta dering beca dan hon kereta (klakson mobil ) makin menyentak ilusi Mina. Kerjanya belum selesai. Cepat dia meraih kamera, mengeluarkankan buku nota. Dia telah mendapatkan sisi pandangan yang menarik.
Dua orang anak kecil sedang menyusun longgokan buah semangka, limau dan salak. Memang benar dia tertarik dengan kelincahan anak akcil itu bekerja tapi di mana pula orang tua masing-masing. Apakah mereka tidak pergi sekolah. Bukan sekali, bukan dua atau tiga kali. Telah kerap kali dia menemui pemandangan begini. Jauh kerap kali dia menemui pemandangan begini. Jauh di tanah airnya dia juga mengeluh pedih, sebilangan anak-anak muda masih ada yang tidak ke sekolah. Atau hanya setakat darjah enam dan kemudian mereka si anak-anak sudah boleh membantu orang tua masing-msing yang bekerja sebagai nelayan, petani , bekerja di laut dan daratan. Bukankah mereka kelak di masa depan akan menjaga unsur budaya setempat.
" Anda hanya merakam suasana yang jelek saja. Pasar sesak dan sungai kotor itu, ayuh marilah melihat pemandangan indah di taman atau di pantai rekreasi ". Begitu getus Irman di sisinya yang telah berpakaian rapi. Jauh sekali dnegan suasanan di pasar ketika itu. Atau lebih sendu, Mina membandingkan gaya Indera dengan Irman. Memang dengan car berpakaian Indera juga menampakkan kesan keharmonian yang menarik tetapi bila dia turut menunjukka jalan ke dusun-dusun tua yang masih meninggalkan kesan sejarah dan kopolosan alamiah, Mina bagai menemuikan punca mata air yang jauh tersembunyi di celah-celah kaki bukit. Indera yang lebih banyak diam, tetapi turut mengutip batu-batu kecil dan menunjukkan jalur tapan bitangan kecil di rimba yang mereka masuki di kaki Merapi, rasanya masih hangat dalam pengalaman Mina.
Setelah mereka ke pasar memotret kegesitan wanita berniaga, Indera turut menyelitkan cempaka kuning ke celah rambutnya. Cempaka kuning yang dibeli Indera ketika menemaninya ke pasar di pekan Batusangkar telah mengering dalam beg sandangnyatetapi masih membekalkan keharuman asli yang menyenangkan. Tetapi berdiri di sisi Irman, sepagi itu, Mina terhidu semerbak pewangi lelaki metropolitan.
Inilah hasil perkembangan takdir kehidupan anak-anak kecil yang kerap ditemui Mina. Irman bangun dari perjuangan orang tuanya yang mewah di Jakarta. Indera muncul dari kesan perjuangan orang tua pelaut dan dibesarkan oleh wanita desa yang begitu tidak sampai hati berpisah dengan putera tunggalnya. Dia tumbuh dalam keteduhan walaupun gesit menyambung usaha orang tua di kota. Tetapi tetap memilih kota kecil di gunung. Dan Irman? Dengan siulan memanjang , dnegan suara meniru gaya Rendra, iapun menjuadi burung kondor. Melaungkan lagi kelaparan lagu kesengsaraan para marhaen. Tetapi pernahkan dia merasa lapar? Dan tengah hari itu Mina pun dihidankan dnegan aneka masakan gaya Palembang. Tentu saja hidangan mewah di ruang makan istimewa. Sedang seminggu yang lalu atau enam bulan sebelum itu, Indera berbisik ... " Kenapa harusmembazir wang dengan memesan maskan dari restoran, ayuh aku undangkan untuk menikmatai masakan ibu ku di desa. Kau senang dengan ikan sungai bakar dan tomao muda, bukan? Merekapun berlarilari di celah kaki bukit menyuju kolam ikan yang diusaha sendiri oleh Indera, menangguk ikan kalui. Mina jua turut membantu ibu Indera , memetik tomato yang bakal di bawa ke pusat kota oleh Indesa esok harinya.
Sedang Irman, masih mengira-ngira bagaimana harus memulakan percakapan atau lebih tepat menyatakan undangan bagi acara makan malam perpisahan. dia telah memesan ruang makan hanya utuk berdua di Sarnadhipa. dioa juga telah memilih gaun malam lembut sebagai hadiah si bidadari impiannya. Pesannya pada pelayan, " penuhkan ruan makan dengan munga-bungan serta muzik santrai". Mina baginya adalah serindin manis untuknya sebelum mereka berpisah. di matanya tiada Sungai Musi. Wanita itu masih menampakkan keceriaan remaja walaupun dia tidak dapat mengagak berapakah usianya.
Tepatnya malam itu, Mina juga telah bersedia mengemas barang-baranng di kamar. dia telahpun memulakan beberaoa lembaran catatan. Dari Palembang , masih tersisa beberapa hari perjalanan lagi. Mungkin ke Rengat untuk mengikuti alur jejak sultan Mahmud di Kampar sebelum Siak Inderapura. Oh, Indera Laig. Mina membuka diari. Meliaht tanda hari bulan. apakah tepat seperti janji di Tabing dulu, Inderea akan menyusul dan menungguhnya di Inderapura? Dengan mendengar ketukan pintu di luar kamar , yang dibayangyan ialah wajah pemuda teduh itu. Mina mengintai di lobang kaca pintu tembus ke biji anak mata seseorang yang berdiri di balik pintu. Dibukanya pintu setelah memastikan wajah petugas hotel sedang menunggu - pelayan membawa sejambak bunga mawar kuning dengan pesan, " Tuan Irman menunggu Nona di ruang makan, silakan..."
Mina tidak pula menolak undangan Irman atau Tuan Irman seperti yang diucap oleh pelayan. Tetapi yang turun ialah Mina yang sukmanya telah dipenuhi oleh semerbak cempaka huluran Indera sejak di Batusangkar. Mina sudah memaparkan kekeruhan Sungai Musi kepada Irman, tetapi menjulurkan kakinya di paras kedinginan jernih Sungai Bengkaweh bersama Indera dan bukankah Indera telah mengutip sehelai daun angsoka buatnya!
***
Palembang-K.Lumpur 1987-1988
(Sabah Times, 29 Mei 1988)
No comments:
Post a Comment