Friday 15 July 2011

MALAM GENDING

" KAU , tahukan, sejak dari dulu aku impikan tentang kejujuran. Keabadian, keheningan seluruh kecintaan yang satu! "
Nico masih mengulangi ucapan yang sama. Sepuluh tahun lalu di kota Quezon, kutemui Nico ketika ku turun naik di Institut Pengajian Asia di Univ.Phil. Melalui Prof. Pilar Magamon kami mula membentuk kelompok kecil sepanjang hujung minggu di kampus Diliman. Tentu saja ketika itu kami lebih merupa pelajar belia yang hebat. Lincah dan ramai, khususnya ketika berdebar tentang politik. Walaupun beberapa kali aku mendengar Nico sering melontar rasa geram anak muda. Tentu saja yang menjadi sasran ialah Prof. Pilar L. Magamon yang begitu bergaya dengan cara manusia Barat.
"Orang kami memang lebih bergaya dan berlagak seperti manusia penjajah dulu". Itu gema Nico setiap kembali selesai makan-makan di apartmen Prof. Pilar. Tetapi Nico juga seperti pemuda-pemuda lain yang menjadi sahabatku. Kami bagai mempunyai jalur pemikiran yang sama.
" Kita harus membentuk pola kehidupan bangsa Asia . Ingat, ini bumi Asia Tenggara. Milik kita ini, kitalah yang harus membetulkan kembali kesilapan nenek moyang kita".
Ah! Selepas itu adalah lengkingan amarah pemuda Nico. Nico. Dia yang cus plas. Cus plas. tetapi semuanya berhenti setelah perasaannya reda. Begitulah suasana kampus Diliman khususnya di asrama yang didiami pelajar-pelajar asing sering menjadi riuh. Tanpa Nico kami berasa kehilangan. Malah Nico satu-satunya pelajar tempatan yang sama mengungsi dengan kami di asrama. Kata Ladda dari Bangkok,
" Bagaimana kalau kita pulang semua dan Nico tinggal sendiri tanpa memberi tahunya?"
" Akan kukejar kalian samua ! Ingat, ini semua rancangan Nico. Nico putera Tagalog Cabanatuan. Dan kalian adalah pengiringku". Itu jerkah Nico, bila mendengar cadangan Ladda. Tetapi selebihnya, kamilah yang mengetawainya, kerana Nico yang bersungguhan ingin menjadi sebahagian dari kami. Dia mula belajar membawa watak Lakon Menohra daripada Ladda. Mula menyusun daftar istilah Melayu-Jawa dan Bali.
" Aneh!". Gumam Nyoman Angsana yang begitu baik memberi beberapa istilah baru setiap pagi ketika mengambil sarapan. Tetapi kerap menjadi ramai bila Nico mula berbicara Jawa. Bayangkan saja di asrama pelajar-pelajar asing, kelompok kamilah yang sering menjadi gunjingan. Bila Nico mula bicara Jawa, Ladda berbahasa Tagalog dan aku berbahasa Siam. Dan yang bingung ialah Prof. Pilar L. Magamon guru bahasa di institut.
Kampus Diliman memang selalu kering terutama bila angin musim panas di bulan April menyimbah dari Teluk Manila. Setelah Nico keluar dari kuliah muzik, aku dan Ladda meninggalkan studio tari, kami selalu memilih Rizal Park. Di situ ada lekuk yang tersembunyi dari rimbunan pohon mawar renik yang membentuk denai. Tidak kira siapakah yang dulu sampai masing-masing akan melepaskan lelah setelah kuliah sepanjang hari. Biasanya Ladda yang begitu baik membawa bekalan minuman atau biskut. Setiap kami sampai, Nico sudah terlelap . Beberapa ekor burung merpati bagai telah mengerti akan kunjungan kami. Dari lekuk denai, kami dapat melihat dengan bebas ke utara, menghala jalan raya kota Manila. Tentu saja bayang tugu pejuang Jose Rizal tegak gagah. Di situlah punca keluhan Nico.
" Kita harus simpati dengan anak muda ini ". Beberapa kali Ladda menutur kata-kata yang sama. Tetapi hanya sebentar, Nico mula jadi pemuda yang cus plas, cuc plas. Lalu jadilah dia pemuda lincah , nakal dan romantik.
" Pernah aku digodanya, Nico begitu hangat ". Begitu satu sore ketika kami lebih awal sampai di taman, Ladda meluahkan rasa hatinya. Dalam diam-diam aku juga mengenangkan kemesraan Nico kala datang ke kamar studiku . Dalam sibuk mencatat beberapa perkataan dan istilah Melayu, Nico masih sempat mengusik dengan nada puisi cinta dalam lakaran notanya. Selebihnya ketika kami menyusuri seja di Ojeda Street, kurasa kehangatan jemari pemuda itu begitu memuncak dan aku menyenanginya pula. Namun dalam kenakalannya dia tetap sopan. Tegasnya , " kita manusia Asia. Bukan Eropah. Bukan Amerika".
Begitulah antara aku dan Ladda tidak pula berasa curiga. Seadanya menerima Nico sebagai sebahagian dari persahabatan kami. Malah kami seakan kehilangan kalau salah seseorang kami menghilang.
Itulah kenangan sepuluh tahun lalu. Kini aku tiba-tiba saja didesak ragu. Apakah benar pemuda lincah Manila Metro yang sering menjadi bualan mahasiswa di kampus Diliman dulu di depanku kini? Aku ingat lagi peristiwa gamat di Melolos dan di Makkati juga dalam acara berkampung di Teluk Tabayas. Bila Pedro mula mabuk dan memeluk Ladda dan aku terhuyung dalam dakapan Reynaldo. Nico begitu gelabah. Padahal dirinya menggomol Theresia dan Julia. Acara unggun api menjadi puncak kesedihan bila Nico tiba-tiba menghilang. Pada hal dialah ketua rombongan. Ketika Prof Pila. L Magamon dan Andres Sionel muncul kemudian , acara unggun api selesai begitu saja. Tidak ada acara perbincangan sosiobudaya dengan penduduk tempatan seperti yang telah dirancangkan.
" Dulu aku begitu emosional sekali - aku jadi cemburu bila kau dengan Reynaldo. Dan Ladda dengan Pedro. Ah masa lalu ". Itulah ucapan kedua, kala Nico kembali berada di sisiku di Kuala Lumpur. Malah lebih menjadi aneh, bila ia mengenalkan dirinya , dengan gaya baru dan tidak terduga kukutip patah suaranya,
" Panggil aku, Mas. Mas Suryoningrat, dari kraton Kota Kidul!"
" Mas Suryoningrat? - kau bercucu Nic !" Aku seperti tidak percaya dengan suara yang keluar dari kerongkong Nico.
Setelah selesai memberi ceramah di kampus, Nico berbisik ke telingaku, " Bawa aku ke halaman hening!"
Memang sejak dulu beberapa istilah seperti hening, sunyi, abadi begitu sering diucapkannya. Selintas ucapan lahirnya sering bercanggah dengan tingkah lakunya yang tangkas. Dengan jeans biru kusam dan jaket tebal penuh tempelan lencana, dengan motor pacuan laju , Nico yang kukenal jelas mewakili pemuda agresif tahun tujuh puluhan. Kini di Pelantaran Putera dalam alunan muzik senja ia begitu santai meletak kepalanya di sandaran kursi. Lalu kudengar keluhannya,
" Akulah putera Nusantara ! dan kau Jeng ayu, apakah Kuala Lumpur memberimu nafas keheningan ?"
" Putera Nusantara dari pantai Lamon?"
" Ah, tidak kisahlah tu, tapi kau tahu segalanya telah menyentuhku. Pantai Laut Selatan telah mengajarku jauh melampau dunia hening. Sukma yang terapung dan keabadian yang luluh, Jeng...!"
" Nic?"
" Sebut aku, Mas Suryodiningrat ! Di sana aku menemui akar. Bukankah kau juga menyebutnya dulu, tentang titih Semar dari dunia awangan yang turun ke bumi mencari kemuliaan!"
Memang dulu akulah yang banyak berdongeng tentang wayang kulit dan irama gending, bersama Ladda dari Akademi Seni Bangkok . Tetapi itu hanya bahan pengantar untuk apresiasi seni yang bakal kami persembahkan di kampus Diliman. Kini di Kuala Lumpur kala senja telah mengawang di bandaraya, tentu saja tanpa gending dan kelir bagaimana harus kuberitahu tentang impian itu ?
" Dulu aku hampir kehilangan. Mama hanya banyak berdongeng tentang Armando atau ketibaan bahtera Magellan. Atau nakhoda Miguel Lopez dengan angkatannya dari Mexcio dan pendeta Andres de Urdaneta. Dan aku tertanya tentang manusia peribumi di Cebu atau pergunungan Bagiuo atau bagaimana boleh hancurnya kepahlawanan Raja Solieman menantu Sultan Brunei. Nah ! Bukankah di sana baru aku menemui erti manusia kita, Manusia Asia yang berbudaya!"
" Di mana?" Barangkali aku masih lambat menangkap maksud tutur kata Nico. Pelayan datang menghidang kopi susu. Tetapi Nico meminta kopi pekat hitam. Gumamnya, " Saya mahu kopi asli "
" Pelayan berlalu sambil mengangkat bahu, dengan pertanyaan " Nescafe".
Sambil menunggu minuman, Nico masih memejamkan matanya. Tetapi bibirnya mengalunkan irama gending. Pandangan senja makin diruapi aroma rintik hujan malam. Aku tahu Nico telah berangkat jauh.
" Sudah sampai di mana anda "
" Cari aku dalam gending !"
" Tapi tidak di sini Nic , oh, Mas Suryo...atau kembali saja ke studioku, di sana ada sejumlah lagu-lagu Jawa. Atau gong agung Bali ! "
***
(...bersambung ke Malam Gending i)

No comments: