Sunday 16 August 2009

DI BAWAH PAYUNG PEUSIJUEK KAWASAN BUDAYA PALOH DAYAH

Perempuan dan para remaja kampung Paloh Dayah menyambut kami
dengan cara tradisi sebelum di peusijuek di tangga
muenasah (madrasah)
Sawah hijau terbentang di kampung Paloh Dayah
PALOH DAYAH masih kaya dengan pemandangan alami, sawah padi terbentang, perbukitan menyaman pandangan. Begitulah pemandangan semakin mendekatnya kampung. anak-anak berlarian, kambing dan sapi bebas meragut rumput. Tanpa diduga kami tiba hampir jam 5 petang di wilayah Lhoksuemawe.
Thyaeb Loh Angen pemuda asal Paloh Dayah Lohksemawe seorang wartawan dan novelis dan penyair muda Aceh bersungguh menganjak kami mengunjung ke kampung asalnya. Saya tidak dapat menolak sehingga acara pelucurun novel Delima Ranting senja di Biruen, beliau muncul sebentar, lalu segera berangkat menunggu di kampungnya. Jarak kota Juang Biruen ke kampung Paloh Daya memakan waktu lebih 4 jam. Ikut serta menghantar saya ialah Dr Wildan dosen di Syiah Kuala, Dr Rajab Bachri dan penyair perempuan Aceh Deknong Kemalawati.
Kami berangkat santai setelah pamit meninggalkan Meuligo (Mahligai) dan Bupati Biruen tanpa menyangka Thayeb telah mengumpul orang kampung, disambut secara tradisi mengarak kami dengan payung kuning menuju muenasah. MasyaAllah bayangkan kalau kami membatalkan perjalanan oleh jarak semakin jauh dari kota Banda. Alangkah berdukacitanya teman-teman seniman muda yang menunggu.
Rombongan kecil ini terus dibawa menaiki tangga dan bersila di muenasah. Sejak awal saya katakan kepada Thayeb, ini acara santai saja, jangan ada sebarang penyambutan ...tapi inilah gaya masyarakat Aceh yang masih tebal dengan segala adat dan adab. Peusijuek (pesejuk = renjisan air dan taburan beras ) dianggap sebagai salah satu adat 'menyejukkan' tamu yang datang. Sungguh terasa rembesan air sedingin dan dedaun peusejuk memang menyejukkan tubuh di cuaca petang yang hangat. Jiwa semakin tenteram dengan iringan doa dan zikir Selawat Rasul, lagu pujian ke Hadrat Nabi Junjungan yang dikasih....hati tersayat gembira dan terharu melihat wajah remaja anak-anak gadis yang turut menyambut dan mengiring kami menuju muenasah.
Muenasah Paloh Dayah yang terletak dalam wilayah Muara Satu Lhokseumawe selain berfungsi sebagai tempat sembahyang berjemaah, juga menjadi tempat pertemuan, mesyuarat dan menerima tamu. Memang terasa bertuah pertemuan di tempat sejarah ini, mengenangkan di sini juga perjuangan agama dan tanah air sudah terkesan...sebagai tempat perjuangan Teuku di Paloh di zaman menentang penjajah. apa lagi pertemuan ini turut datang orang tuha sebagai tokoh kampung dri Paloh Daya dan Paloh Meuria dan para seniman sasterawan antaranya Arafat Nur, Muda Balia seorang seniman menutur sastera rakyat Aceh . Turut hadhir ialah pengutrusu Majlis Adat Aceh Kota Lhokseumawe, Hasbullah.
Menatap mata dan senyum ramah penduduk apakah yang harus kukalaku selain menyampai rasa terharu dengan keramahan penduduk setempat. Mendengar harapan dari wakil Kepala Kampung yang juga gembira menerima kunjungan kami, malah mengharapkan wujudkan jaringan antara Paloh Dayah dengan negara tetangga. Tentu saja sebagai pengkaji budaya yang telah lama menitir semanganat juang bangsa Aceh, saya secara peribadi memang tidak dapat mengelakkan pentingnya jaringan kerja seni budaya dengan semangat bersama, saling mengunjunjugi saling
menghasilkan karya seni budaya. Bukan hanya melakukan kembara bertemu dan kemudian saling melupakan. Secara peribadi kerap ku bawa ingatan, daerah ini harus dikunjungi secara kesadaran pengembangan ilmu. Mungkin bersama seniman setempat, atau bersama kumpulan lain di Aceh terutama Lapena di Banda Aceh dan saya secara imbasan membayang akan membawa teman-teman dari Malaysia yang sudi berkongsi mendengar dan mengutip data seni budaya Paloh Daya...
Kudengar bisik Deknong, " tidak menyangka orang kampung sudi menyambut seniman, padahal selaluinya orang politik diraikan begini, haaa...kita wajar lalukan sesuatu dengan kesungguhan Thayeb membawa kita di sini.."
Apakah yang akan kutinggalkan di sini. Dr Wildan cepat mengingatkan ku, buku-buku untuk saya itu diserahkan saja di sini sebagai oleh-oleh dari Malaysia. " Buku-buku pun beralih tangan kepada ibu guru yang memang amat bergembira bersuara, " Nanti saya akan minta anak-anak kampung membaca tulisan ibu, pasti mereka senang?"
Dengan suguhan hidangan air kelapa, kuih thimpan dan keropok ubi, pisang sempurnalah pertemuan dan kunjungan budaya yang sederhana tetapi tidak berpura-pura. Tamu diraikan dengan permulaan renjisan puesejeuk, dan sirih lam puan (siri dalam puan) lengkaplah makna budaya sebuah bangsa yang kaya dengan adab dan santun. Alhamdulillah.
17 Ogos 2009

2 comments:

daydeck86 said...

menarik sekali perjalan bonda ya....

Ilham Ainol said...

Salam Dr. Siti,
Leluhur saya juga berasal dari Talu,SUMBAR.kami masih berhubungan dan saling kunjung-mengunjungi.Darah Minang masih pekat mengalir di dalam diri.Mungkin dialek Minang kami(generasi ke-3) di sini tidak serangup dan setulin leluhur,namun kami cuba menuturnya dengan bangga sekali. Ujung tahun ini tanggal 8 Dis kami(saya,ayahanda dan bonda tercinta,sepupu dan bapa saudara,anak buah saya dan anak perempuan saya) akan ke sana selama seminggu,kerna telah dijemput untuk menyaksikan Rumah Gadang yang telah siap dibina di atas ranah moyang.Pasti seronok dapat berjumpa mak upeik,abang Asril dan kerabat keluarga di Bangkok Lombah dan Koto Panjang. Tunggu kami ya...Moga direstui-Nya.