KAU datang juga!
Muara menatap langit. Langit memang tinggi. Tetapi aneh serasa dekat. Mungkin kelapangan pandang, menatap langit biru bersih. Namun ada juga yang menyendat. Sesak. Tiba-tiba langit seakan merintih. WArna kelbu dan gumpalan berat muncul bertombok-tompok. Gumpalan itu makin berat dan satu, satu muncul kilau runcing. Benar, awanlah yang merintih. Titis hujan menjunam runcing memenuhi tompok lapangan rumput pagi. Muara dilitupi kesejukan suasana. Tetapi, sekali ia berasa aneh, bagai disengati kepanasan. Simpang siur ngilu, meniup nyaring. Muara cuba mencari punca alur kepanasan sukma. Kemudian saling bertindih. Berlapis sayup dan jauh. Ah ! terlontar ke teluk. Teluk terbina oleh dua alur pantai yang menjulur ke luar melebih garis bumi seantero yang disingahninya. Bahtra telah jauh. dia melihat bahtera bergerak mengikut alunan gelombang. Sesekali didengarnya desah ombak menampar dinding badan bahtera. Bahtera oleh. Bukankah dirinya yang oleng, melambung cuba membuat imbangan gelora laut dan gelora diri ?. Diakah Si Maling Kundang kecundang di Teluk Air Manis . Hingga batera menjadi tompok-tompok gunung batu di pantai. Dan ibunda yang murka? Nyah lah diri anakanda. Sumpahanmu. Sumpahan dulu. Laut bergelora. Ada suara nyaring. Ada suara parau saling bersaing, bertingkah. Lalu pukulan rabana. Gerincing gelang kaki. Itukah gerincing sayu Tuan Puteri kehilangan Malim? Diapun mendengar tiupan salung. Sayup. Jauh. Jauh. Sungguh mereka bersayu hati. Mereka meratap. Menyanyilah mereka...'
' Malim, Malim Kundang
Malim Kundang Si Anak Derhaka ...
Malim, Malim Kundang
Malim Kundang, Kau Anak Mulia (pedulikan mereka mengata kau anak neraka )
Kaukah Malim ? Kaukah Muara? Masih di situkah kau Tanjung?
Dilihatnya sayap mentari kembali mengembang. Senja makin menjelang. Laut menjadi merah berkilau di kaki langit. Gunung batu dengan pandangan seakan bahtera berdiri dengan kukuh. Sayap camar terkembang , gerincing kaki kuda bergema.
" Ya aku datangan Tanjung"
Di pantai berteluk, kelihatan penuh pondok-pondok nelayan. Hampir senja di pantai tidak ada kegiatan masyarakat nelayang, kecuali mereka santai melihat mentari senja mencelah kaki langit. Ah! Tidak. Nelayan telah tidak peduli dengan pemandangan laut senja. Akulah. Akulah yang sering terpukau tetapi akhirnya sakit sendiri. Kebetulan memang bahtera tidak lagi kelihatan. Dan kau Tanjung tidakkah kau menunggu kedatanganku? Hingga jauh malam kala hujan tiba-tiba saja membasahi kampung nelayang, akulah yang berdiri sendiri di bahan pohon. Berlindung di bawah daun malam. Tidak ada suara. Tanpa cahaya. Aku terlempar lagi ke bumi seantero!
11.
Sayap mentarai masih mengembang. Lapisan awan semalam makin menipis. bayang gunung mula menyerlah. Kilau warna danau di kaki bukit menjalur dengan getaran kecil oleh buih udara. Gelembung kecil muncul dari gelepar ikan danau.
" Bagus namamu!"
" Kau juga, Tangjung."
Dua nama . Muara. tanjung. tetapi mereka justeru bertemu tidak di pantai. Muara muncul di gunung. Tanjung sedia berdiri di kaki perbukitan, kala hujan berderai, awan mendung. Tetapi seperti juga di laut, kala nelayan gelisah menatap langit mendung, di bukit juga petani resah walah tanaman semakin subur dengan renjisan air rahmat Tuhan. Tetapi beberapa karung guni bawang kering terlantar di batas banjir. Belum sempat dipunggah ke lori (truk), bebarapa selokam bukit runtuh. Jalan penghubunung ke kota terputus.
" Kalau hujan masih berterusan, kita pasti ketinggalan kenderaan untuk ke kota. Kenderaan terakhir pukul lima. Kalau hujan masih lebat, dengan jalan berkelok tidak ada pemandu (supir) sanggup melalui gelita malam."
Itulah keluh wanota. Si Tanjung gelisah. Dia mengutip keluhan itu. Ajaibkan suasana kala dia sengaja memilih pandangan danau dan bukit di kaki gunung tetapi dia sengaja memilih pandangan danau dan bukit di kaki gunung tetapi yang ditemuibnya , bayang Tanjung di Ambun Pagi.
Lantas didengarnya air terjun di Ngarai Anuk. Beberapa kelompok anak muda saling berkejaran. Ah ! dunia manis anak remaja. Ah, kau juga merasa kembali remaja?
Benarkah? Dia menolah ke arah tanjung. Wanita tinggi lampai dengan rambut melebih paras bahu. Lurus dan berkilau basah oleh gerimis. Apakah dia dara keturunan Puti Bungsu , cerita rakyat yang dituturkan dari mulut ke mulut dimbumbui dongeng purba. Agak sukar baginya untuk menebak usia Tanjung. Mungkin kerana potongan badan yang kurus renceng ditambah dnegan wajah tenang dan prihatin.
" Seperti anda juga bukan? Tasanya seperti mahasiswi tahun pertama saja!"
" Ah, anda bercanda. Lihat saja rambutku, telah mula ubanan."
tetapi Muara tidakpun melihat helaian rambut putih seperti tutur Tanjung . Sebaliknya, rambutnyalah yang mula dicelahi warna sutera kelabu dan tegang. Perlukan dia bertanya lebih lanjut atau wajarkah mereka mengenalkan diri masing-masing? Sebolehnya dia tidak ingin bertanya. Namun ada desakan lain sehingga dengan santai dia menerim apa saja yang ada di depannya. Ya, Tanjung. Atau kerana pancainderanya yang halus, hinggadapat didengarnya bait-bait seloka seakan dibawa dari arah bukit dan bayang gunung seakan memanggil jauh dari belakan. Kembang aksara mekar dan luruh di depannya ...
Kala Batanghari dan Musi ditinggal jauh
bayang mentari tinggal setapak
kala Panglima tinggalkan selokan akhir
hanya jejak ukiran purba
betapa Datuk Hitam mengurai kecewa
di mata Putera Sela- masih menantikag di sana
antara sedu harap dari Jambi
Sang Puteri Pinang Masak
atau sedu mimpi Puti Bungsu
sampaikah panglima Tunggal?
Betapa akan kukatakan padamu. Dia masih senyuman Tanjung. Tetapi bagai ada keluk sendu di situ. Mungkin lebih awal dari itua, dia pernah nampak wajah seperti itu. Di Mana? Tanjung? Tanjung pun melambai sapu tangan. Muarapun menjulur tangan, mengumpai gerak bistari. Ingin dicapainya sapu tangan Tanjung. Ingin dibelainya rambut Tanjung. Inikah gelisah ganas air terjun gunung yang menghempas batu gunung sebelum menjatuh buioh sabun serta geseran bening menjelajahi alur menuruni ke anak sungak, ke petak-petak sawah sebelum jatuh ke kuala? Bukankahhh di situ telah subur pohon kehidupan sert tanaman dan binatang peliharan. Bukankah di situ, Tanjung yang masih melambai dari celah rimbunan teduh itu?
" Kaukah di sana Tanjung?"
" Kaukah Muara. Amankah kau di sana?"
Aman?
... kalau tiba angin
mencenah buih Laut Sendidih
telah kembang sayap senja
kalau aku Muara
dijentik gelepar sedih
dari bahtera sarat lara
kau kah Tanjung
masihkah di sana? ...
Seperti bisa , di kebunnya. Tanjung meninjau hasil tanaman di bukit. Tidak jauh dari kaki gunung. Terletak antara celah dua gunung. Pohonan cengkih menebar harum pagi. Dari celah perbukitan agak ke bawah, jejeran pohon kopi juga telah mempamerkan putik-putik kecil yang mula menampakkan warna hijau dan kuning kecerahan. Seperti hari-hari lain, dia turun melengkkang menuju kebun sambil berseloka. Bercanda dengan burung pagi dengan sapa embun dan mentari sebebasnya. Telah lebih dua puluh tahun. Itulah gurindamnya. Itulah selokanya. Sehingga Muara tiba. Tetapi kenapa wajah itu muncul di baliknya langkahnya yang perkasa masih juga mempamerkan urat luka!
" Kenapa kau sedih Muara?"
" Sedih? Oh, tidak. Justeru aku asyik dengan selokamu. Dengan hasil tanamanmu. Siulan burung-burung pagi. Dan mentari yang mencelah di sana sini..."
" Inilah tinggalah atau warisan orang tuaku. Warisan yang harus ditebus setelah peristiwa zaman. Inilah tanggung jawab sekaligus simbol masa laluku...!"
" Peristiwa zaman?...simbol masa lalu!"
" Ya, kebun ini. Cengkih dan kopi ini. Dan kebun mawar sana. "
Hampir semalaman dia tidak dapat tidur. Di kamar tamu yang kecil tetapi lengkap, dia meneraang jauh. Malam makin dingin. Setelah hujang petang, malam menebar gerimis, dibawai aning angin. Tetapi sekitarnya penuh semarak dengan harum cengkih garing yang dipetik dan dijemur sebekun musim hujan. Mungkin kamar tidurnya bersebelahan dengan longgokan cengkih. Atau mungkinkah haruman itu terbit dari sentuhan air hujan ke atas tompokan pohonan di kebun? Dan derak apakah yang didengarnya serta kerdipan cahaya di luar kamar. Dan suara? Siapakah yang sedang bersenandung. Atau itukah seloka yang harus dikutipnya sepanjang malam? Patutkah aku bangun dan mengejutkan tuan rumah. Ah, kamar Tanjung di ruang muka sana pasti turut juga mendengar senandung itu. Atau memang suara itu dari saja. Perlukah atau sopankah aku keluar dan bertanyakan itu. Tetapi ah, bukankah dengan sikap dan perlakuan wanita itu kelmarin telah mengganggu kelakiannya apa lagi bila Tanjung memanggilnya, Adik!
Ah, kelakian manusiawinya selalu saja terjebak antara rasio dan emosi - gangguan suasana. Cuaca selepas hujan dan hangat harum sengkih makin menyengat sukmanya. Tetapi semua terbentur denga nucapan selamat malam Tanjung." Semoga saja, Adik bisa tidur dalam suasana sederhana di desa gunung kami!"
" Selamat malam...terima kasih kerana sudi menerima saya menumpang di istana ini, Kak!". Kakak? Betapa berat pula bibirnya menyebut gelaran itu. Wanita seperti Tanjung, kakakkah dia. Tetapi di mana Udamu? di kamar sebelah, lebih tepat lagi, kamar yang terletak agak menjulur dari anjung jelas menebarkan irama malam yang sukar ditebak makna dalamannya. Bagai ada desir angin menolak dari bawah bukit. Pasti angin dari danau di bawah terbentur dengan deru angin gunugn. Atau begitu gelepar sayap helang malam. Ah! itu pasti seloka . Dan bukankah suara atau datang dari kamar Tanjung?...
Tinggal Singkarak tinggalkah Mamak
datanglah hujan datangkah panas
datanglah badai datangkah sangsai
angsa laraku masihkah di danau
masihkah mengembang sayap kasih silau
kala ribangku, ribangku
pecah di kalbu
dan salung
ke mana alur ruangmu?
Oh, itu bukan seloka. Bukan gurindam. Tidak. Bukankah itu bait-bait sajak tidak selesai diikutinya pada helaian dan tompokan kertas di meja depan. Pasti itu tulisan Tanjung. Seorang wanita yang ingin meneruskan tanggung jawabh dan tugas warisan yang ingin menerus tanggung jawab dan tugas warisan sempat berpuisi sambil mengutip sisa-sisa kehidupan silam. Kalam saja Muara mempunyai sedikit keinginan nakal akan ditambahnya bait-bait catatatan yang belum selesau itu, beginilah...
Akulah hujan akulah panas
akulah badai akulah sangsai
masih saja angsa laraku mengembang sayap
di danau,
sambil saja salungku
meraungi , lagu-lagu ribang
ribang mautku...
Muara mengintai dari malam jauh. Suasana semakin sepi. Dari kamar sebelah anjung kelip lampu masih menyala. Ada sedikit gerak didengarnya. Ada seakan bunyi tapak dengan langkah teratur , perlahan menuju dapur. Kemudian terdengar dentingan cawan disusun Kemudian kembali derap langkah beralun meninggalkan dapur, menapak ke ruang tamu. Lampu dinyalakan cerah. Bunyi kertas diselak. Bunyi launjuran kaki ke atas kursi rotan. Kemudian senyap. Sesekali terdengar nafas dihela panjang. Ada keluhan sendu. Berulang. Berulang nada itu seperti bait puisi pula, sayu dengan nafas teresak. Kelakian manusiawinya dicabar lagi. Perlukan aku membiarkan duka lara Si Tanjung yang baik hati memebrinya kamar malam setelah kelewatan kenderaan di kaki gunung? Tidak sopankan kalau dia bertindak lebih berani, menghulurkan tangan menampung sedu-sedan malan sambil meletkan kembang putih di rambut yang terhulur panjang itu. Tanda simpati dri si pengembara laraku juga. begitukah cara terbaik bagi mebnehab gejolak dada tanpa sedikit pun memberi tanda tersentu oleh emosi cinta dan dia, seorang Tanjung!
111.
" Kalau Uda datang lagi, bukankah kerana panggilan sukma juga Dik? "
Memang ditatapnya kini bening danau . Langit menjadi bersih dan irama malam ditambahi cahaya bulan penuh. Puti Bungsi tersimpuh tenang. Di depannya penuh peralatan tenunan. Benang-benang pakan terjalur dari gelungan. Loseng dijalur mengikut susuanan bunga berpetak. Loseng dijalur mengikut susunan bunga berpetak. Mingkin menjhelang keberangkatannya Rang Muda di perantauan, tenunan selempang balapak itu pasti selesai. Dia harus menyediakan tenunan itu. Bukankah di situ letak erti kuwujudan anak dara . Sejak kecil diperhatikan oleh Mamak. Demi Ninik Mamak dia rela menerima tugas itu. Seorang anak dara yang dituntun untuk menjadi patuh dan horamta. Bukankah telah tersurat jakur dan tugas wanita dipusaki turun temurun di seda waris anaj gunung? Ya Gunung Merapi si Gunung Raya. Tetapi tahukan Ninik Mamak menebai hati nurani sang perawan. Bibirnya tertutur terasuh sejak sunti menjadi perawan santun. Tetapi siapa dapat menebak ombak hati yang sudah disentak kilat? Hati yang sudah melukuh oleh keberangkatan seorang Malam?
Bagaimanakh harus dituturkan kepada Rang Muda Malim. Tentang kepulauah putera Mamak dari arantau memabwa harta , aneka barang-nabrang berharga sebagai tanda mata. Haruskan dia melupakan janji sanak tentang pertunangan sejak kecil sedang kasih sudah berputik di sayap remaja, setelah Rang Muda tiba! Tenunan buatmu kini harus menyambut h ke putera Mamak pula . Puti pun berhati-hati mempamer wajah senyap dan , si putera Mamak dengan gaya angkuh dari rantau, bergegak gempita bermata nyala helang! Kau Malim, di mana desir bayangmu?
" Aku datang dik Bongsu !"
" Haruskah aku mengikuti derap langkahmu, sedang awan mula mendung dan kuharus menunggu lagi, sedang di halaman telah muncul bayang hitam. Selempang yang belum selesai kala kau harus berangkat! siapakah yang terlewat atau dia yang pulang cepat?"" Kalau benar, kau dik Bongsu yang kukenali sejak dulu, masihkah kau ingat siapakah yang menemani kau ke permatang. Mematahkan batang padi dan meniup suling sambil kau berdesah ketawa mengejar pipit sawah...kala kau kuhantar ke sekolah , bukankah aku yang melindungi mu kala putera Mamak yan sering menganggu dan mengejarmu?"
" Kerana itulah Uda, kuingat pencak silatnu di halaman, juga angin yang memberikan khabar tentang bahasa selokamu yang menghimbau, indah nian puisimu, akulah yang menunggumu di bawah rimbun angsana dengan seikat kembang kering huluranmu tiap pulang dari hutan bukit, oh! Mande, demi Uda...ah! Mande, di mana kini Udaku, Mande "
" Dia ada di dirimu dik Bongsu!"
" Mana pedati kita Uda?"
" Kaulah pedati itu. Akulah kuda dulu. Ayuh, cepatkan langkahmu . Kita harus segera meninggakan desa ini. Di sini tiada lagi bulan tumpah di danau. Angsa-angsa kehilangan danau dan seroja tidak tumbuh lagi di sukmamu. Dik Bongsu! "
" Tenunanku belum selesai Uda! "
" Aku tak perlukan tenunan. Mana derap keberanianmu? "
" Keroncongku tertinggal di kamar"
" Aduh, dik Bongsu. Akan kubeli keroncong baru".
Selokanmu Tanjung. Sungguh mengharukan pentas malam itu. Mengharukan diriku sekaligus mencabarku. Muara masih dibauri keluhan jauh di Tanjung. Nalurinya bagai disentap. Akukah Uda yang datang kembali mencari Puti Bongsu? Setelah Dayang Uti berlalu . Setelah Dang Mandak dilarikan Tengku Siak dan Pulau Dayang Bunting dicemari bayang geroda. Masihkah Puti Bongsu bisa diajak bicara? Atau begitukah takdirnya Tanjung ditemukan dengan Muara atau begitukah olah Puti Bongsu kala berharap langsung dengan putera Mamak dan aku menjadi Rang Muda Malim? Muara! Malim?
Tanjung tersentak. Di depannya kini, memang ada Rang Muda. Sungguhkah Malim? Diakah Muara? Bercambah bening di semai lama. Kembangkah kelopak mawar setelah musim menggaring kebun bertahun?
" Kau datang juga Uda ?"
" Sungguh aku datang , dik"
Berkali Muara mengintai dari jauh. Rimbun aksara seakan melindung gerak Tanjung. Tetapi justeru dalam keteduhan menyelinap keinsafan. Setitis gerimis menikam, kembang semakin segar semarak. Begitu harapan Muara, harapan Si Malim, setelah meninggalkan pelabuhan memasuki kota Simara, setelah menyelesai kerja kehidupan, ada kehidupan jiwa yang harus disuak. Dia teringatkan nun jauh di darat, di atas bukit atau di dua kaki gunung itulah puncak Merapi-Singgalang...
" Demi aku, atau memang ada rahsia lain kedatangamu kali ini, Uda? "
" Beritahu aku tentang mitos gunung ini di Bongsu "
" Tidak ada mitos di sini "
" Ayuh, siapa yang memanterai puisi-puisi lara dulu , setelah Dara Jingga ke Jawa setelah Sanjaya tiba, apakah kau yang menerima lamaran baginda ? "
" Kau bukan pujangga itu, dan aku tak tahu dengan puisi mantera. Oh, aku tak pernah menerima lamaran itu "
" Tapi kau melahirkan seorang putera, justeru kerana itulah kau diangkat sebagai mahsuri dan menjadi bunda sejati !"
" Tidak, aku tetap dara abadi!"
Selepas itu hanya ratapan . Hanya pelukan rindu dendam. Rang Muda Malim , siapakah yang tidak mengenalinya sang pujangga yang tidak selesai menulis syair panjang, yang bersambung, bersambung menjadi episod berliku, bertunjang. Dan Puti Bongsu dengan seloka juga tidak pernah berakhir. Tetapi di mata Tanjung ada air pedih lain. Apakah Muara sesungguhnya ingin mencari mitos atau pengembara yang berhenti lelah dengan meladeni ghairah bermusim. di kebunnya tidak ada sisa dongeng yang dapat memberi khayalan seorang pengembara jauh. Tidak ada keanehan dongeng. Tetapi tahukah Muara, dongeng lara dirinya sendiri berentetan dengan musibah keluarga sejak angkara takdir zaman. Darah hina yang terpancar di kening ayah bonda, sehingga terlunta sepanjang hayat mereka sekeluarga!
Apakah hanya anjing-anjing hutan lebih mengerti saat luka sengsara keluarga yang telah dicap nanah masyarakat. Dapatkah dia melupakan darah yang membuak saat ayah ditusuk bambu runcing dan diseret sebelum dilempar ke api yang menjulang gombok kehidupan masa lalu itu? Ini bukan dongen Muara. Tidak mitos tetapi realiti masa lalu. Masa lalu orang tuaku. Bulan tidak selalu cerah. Hingga kini , kebunku masih saja terlindung dari cahaya bulan." Kau ahli sejarah Muara?"
" Aku hanya ingin istirah di gunung. Kutemui dikau di bukit senja. aku menghirup aroma cengkeh di istana comelmu.."
" Kau harus segera pulang esok, anam bahaya lama di sini. Kau ingat warisan takdir kehidupanku? Masa lalu orang tuaku, sebelum kau turut dituduh abnjing hutan berkurap? "
" Aku kurang jelas. Kebunmu subur . Aku ingin memetik limau (jeruk) dan kopi atah cengkih . Mustahil petani awalnya digoda angkara beigtu, maksudmu?"
" Pulanglah. Kerana sejarah keluargaku tidak tercatat dalam buku. Mustahil cerita anak kecil masa laluku bisa dipercayai oleh ahli sejarah seperti mu ? Atau kau juga turut menutup peristiwa dua puluh tahun dulu begitu saja. Seperti tulisan mereka mengkabur fakta dan memjelek perjuangan ayah dan kakekky, menyelamat kebun dan tanah leluhur - generasi kami tihiris kelar semangat oleh takdir. Tiada perlawanan. Begitukah sejarah?
Namun bagi Muara, masa lalu tetap masa lalu. Memang semua tidak melupakan masa lalu sejarah yang telah dimuziumkan itu. Cuma mungkin Tanjunglah yang mewakili luka sejarah masa lalu itu. Anak muda lain sudah lari ke kota Jawa. Siapa yang peduli ayahnya diheret, dihujani tikaman bambu runcing, luapan apoi yang tidak mengenal siapa lawan siapa kawan. Dan Muara sendiri, ayahnya pun menjadi mangsa bintang tiga di rimba Senawang. Dan datuknya terlonta di mata pedang Nippon di Ampang? Masih berdendamkan aku?
" Demi kebunku Muara, kebun warisan ini, bangun bersama pilu itu. Hanya di sinilah aku bisa meneruskan janji buat kedua orang tua...aku tidak pergi meninggalkan kasih sayang ibunda. "
" Dan jiran-jiranmu?"
" Mereka tak mengetahui sejarah hitam keluargku di desa asal . Di sini kubangun kembali warisan tanpa dendam. Aku ingin memutihkan kembali sejarah luka itu. Kerana di tempat asal peristiwa, aku terus dikutuk, dihina, nyahlah darah si hitam. Anjing hitam, kutau hitam. Oh! Tanpa seabrang pengadilan, ibu turut dihina, dicerca, cuma di sini di kebun ini, Tuhan masih sayangkan umatNya. "
" Dan Udamu "
" Ya setelah kami bertunang..tapi dia juga turut diseret hukum kononnya demi keadilan, nah kau lihat aku sendiri di sini dan dia jauh. Dia jauh!"
" Siapa? "
" Malim !"
" Rang Muda Malim? Jadi ada Malim ? "
" Ya Kenapa!"
" berdongenglah Putoi Bongus, berdongenglah "
" Kau keliru, Uda. Aku bukan Puti, Cuma Tanjung "
" Kaulah Puti Bongsi, Puti yang dikenali Rang Muda Malim "
" Kalau itu, memang betul "
" Kaulah dia Puti Bongsu. Puti yang dikenali Malim. dia masi utuh dalam suka Malim, percayalah "
" Betul. Sungguhkah ? "
" Oh, syukur "
" Tapi , Uda "...
Wajah Tanjung kini mengalirkan gaya Puti Bongsu dengan hiasan sunting penuh di kepala dengan baju labuh tenun balapak.
...kau pergi tanpa selempang sulamanku. Setelah putera Mamak mengetuh pintu rumah pusaka kami, setelah Mande pergi, segalnya hanuyalah impian dan kemusnahan kasih kita. Uda , setelah pergimu segalnya adalah kebun kering sepanjang musim. apalah ertinya danau tanpa angsa dan seroja nika warna? "
" Akan kucipta kembali kesuburan kebun kita. seroja dan mawar setaman"
" Mustahil"
" Sungguh"
" Aku tahu. Pergi ku jangan kau kesali. Walau kutahu kau mengutuk ku dulu...dan sang putera Mamak, oh ! Inilah kesilapan dulu Seharusnya aku juga berangkat lebih awal...dan kini, eh telah cukup gelaran ilmu walau bukan gelaran adat, percayalah hanya sekuntum mawar yang tumbuh di danau sukmaku.."
" Uda ! "
****
Batu Sangkar - K. Lumpur
1987-1988
(Dewan Masyarakat , Julai 1989)
No comments:
Post a Comment