Saturday, 16 July 2011

MALAM GENDING (sambungan i)

" Tidak perlu, keheningan itu ada di sini." Nico menarik jariku dan meletakkan ke dadanya. Terasa dadanya berombak. Tetapi matanya masih terpejam. Alunan muzik senja berlagu tenang dengan iringan piano. Hanya beberapa orang saja pengunjung di Pelantaran Putera. Tetapi aku percaya Nico makin berangkat jauh. Aku berasa melalui ramasan tangannya ke jariku lebih membentuk ketukan gamelan . Serasa ada bonang dan saron. Suaranya mula meluahkan lagi bagai desah pesinden kraton. Akukah yang turut terhimbau masa lalu di sepanjang jalan di Malioboro dari Tugu menghala ke alun-alun atau Nico yang mula santaio menggamel di pedopo kraton Solo? Atau aku jugakah yang ragu-ragu menyapaku dengan gaya putera Jawa Tengah? Oh! Nico.


.... Masih dihidunya jalan senja di kebun Solo dari halaman kraton teduh kolam idaman. Gending seperti sedia - ketika Pangeran melangkah ke pendopo, di halaman sebelah kanan dengan jejeran bunga pot cina sedatar Alun-alun melurus pandang ke Tugu; matanya hinggap ke dahan beringin tua di halaman luar istana . Di situ sepasang burung gereja dengan sayap lembut abu-abu saling mengirai bulu kekasih - alangkah manisnya ingatan jauh, kala dia terlontar dari kebun impian. Bagai burung gereja yang di tinggal sendiri setelah pasangannya mati bila angin meniup duka tidak tahu mahu menghampar sayap di mana? Tiba-tiba dialah yang bangkit bagai Pangeran Muda. Dengan langkah sigap dengan bibir merah jambu idaman puteri-putera Mataram dan Ngayogya dalam lipatan panji dan cekak bahu ular naga pergelangannya yang perkasa dan kilat mata rindu. Dialah yang dibangkitkan dari titih jernih leluhur laut Pantai Selatan diarak serimpi bonda mulia.


Siapakah yang luluh . Siapakah yang tidak mengaduh? Seperti tidak apa-apa, seperti sepasang burung gereja sepi di dahan beringin tua. Dia kembali tertuntuk tetapi segera sedar lantas bergerak siap siap perkasa bebas darah menghangat tubuh sasa. Sebaris kumis yang melentur ikut gerak bibir mengukir senyum keabadian. Nah, kaudengarkan gemersik panji bersayap kepala geroda dan hamparan cindai mengampai bayang.


Dalam ceramah tadi dia sempat memberi definisi tentang alam budaya Asia. Menyentuh tentang seni Melayu Semenanjung. Di Luzon, semua budaya tempatan bagai sengaja dihilangkan. Kemudian ketika makan tengah hari sambungnya,


" Kamipun mulalah diajar berpakaian rambo, penuh renda dan sulaman; makan dengan masakan gaya Sepanyol. Kami digelar Indio. Indio pun menjadi hacendero, lelaki yang bekerja kera di industeri atau konon diberi pendidikan sebagai ilustrado. Tapi, ah, aku justeru jadi kehilangan sejarah dan akar" .


Sejak di sekolah menengah telah beberapa kali dia mengusul soalan kepada gurunya. Siapakah sebenarnya nenek moyang kita. Dia melihat lelaki kulit coklat berminyak jauh di pergunungan. Dari beberapa pulau dia juga melihat kepahlawanan bangsanya jauh di perairan Selatan. Tetapi begitu gurunya mengenalkan istilah pagan, dengan kepecayaan karut dan menakutkan, bila sejak 300 tahun Sepanyol merampas dan berkuasa hapuslah segalanya. Konon paganlah yang hodoh, bodoh harus ditenyeh. Gereja pun didirikan di merata tempat. Nico pun mula melihat lagu perih nenek moyang, segala milik anak bangsa dimusnahkan. Kesenian di Selatan juga tidak dapat berkembang, seniman dipatah semangat roh silam. Semua impian bagai kemusnahan warisan Mexico, potret nenek moyangku harus dirubah sejarah dan harus dijajah. Siapakah yang takut? Aku? Tidak, kawan!


Bukankah jiwa yang kalah saja ingin mengubur sejarah bangsa yang tegar di zamannya? Nico pun melontarkan dukanya dnegan amarah yang memuncak. Mungkin suaranya penuh dan mengaum di celah unggukan bangunan Fort Santiago. Rentak tango Latin Amerika makin memeriahi taman ibunda dan suaranya semakin serak luka. Jadilah bangsanya yang komersial yang vaudeville - penuh anekaraman dengan tandak ala Broadway. sukmanya semakin berdarah. Segalanya kosong. Julia pun tidak sudi lagi mendengar keluhannya.


Kelakiannya alah bila Julia memilih balet dan mengikuti Martha Graham ke Amerika. akukah yang duka yang kecewa kerana tetap mencari jejak leluhur?


" Tapi kau ada Jose Rizal !"


" Oh dia begitu lembut dan mati dlam kelembutannya "


" Ha? dia bersuara dan harus di buang ke Hong Kong? dia inteletual dan seniman? "


" Justeru itu ia dipermainkan oleh Revolusionis Andres Bonifacio"


" Dan Rizal dibunuh"


" Tak siapa melupakan tarikh itu"


" 12 jun 1898 ". Aku cepat menjawab, Nico membuka matanya menatapku, tepat.


" Oh, jadinya kita bicara soal politik juga ya ? "


aneh. Ketika sedang hebatnya darah muda sepuluh tahun lalu, kami tidak pula bercerita tetnang sejarah dan perjuangan masa lalu. Nico sering menolak kalau beberapa orang teman mula menyentuh hal-hal sejarah. Tetapi segalanya terjawab bila Nico tersus terang bersuara,


" Bila semua teman-teman pulang, kau, Ladda, Nyoman Angsana dan Fauzi, aku berasa kehilangan. Memang ada seorang dua pelajar Asia di asrama. Tetapi kami tidak begitu akrab. Ya, tempoh itulah waktu terluang. Aku mula sibuk dan kau ingatkan peristiwa pemimpin masa itu. dan aku dicoblos ke kamar gelap..."


" Maksudmu ?"


" Ya seperti kau tahu, aku terlewat menyelesaikan sarjanaku, selebihnya memilih Jawa dari pergi ke Eropah atau Amerika!"


" Oh, Mas Suryodiningarat..."


Kini lidahku dengan mudah memanggilnya dengan nama Jawa. Mas Suryodiningrat. Tiba-tiba gending pun bergema. Dengan jekas aku melihat keluwesan tangan dan jarinya menggamel sarong. Mas Suryodiningrat juga kelihatan melangkah tenang meninggalkan pendopo menuju ke Alun-alun. Di antara perbatasan dalam dan luar kraton dia berdiri di bawah pohon beringin rendah yang memayung hingga tubuhnya berada dalam keredupan sukma. Ketika itu aku masih bersimpuh membetulkan letak simpai dan hujung wiron.


...Menjelang musim sekaten bila belon-belon ditiup berwarna warni dengan aroma jagung bakar memenuhi lapangan malam, berselang pula dengan jejeran patung wayang, bergerak pula Semar dan Gareng, maka di situlah Pangeran bebas merangkul kepuasan hati. Bukankah dialah Putera dari Pulau Utara yang sudah sekian lama kehilangan tiupan suling dan terhapusnya aroma bunga matahari di kebun ibunda. Sehingga dia tidak mengenali nyanyian warisan gunung. Diapun meninggalkan Melolos. Lalu teriaknya, ' Selamat tinggal matahari panas Teluk Lamon di pantai laut lepas. Izinkan keberangkatanku. Sampaikan salam akhir cintaku pada ibunda Boyombong dan moyangku Tagalog Cabanatuan!"


Seperti deras air terjun bukit Pagsanjan , deras air mata cintanya terberai menyahut panggilan jauh. Bila serimpi mengusik sukma pencari erti kehidupan..' lupakan aku Nico Junior kini bergelar Mas Suryodiningrat'


Semuanya di sini. Bila air kasih keabadian menyiram sekujur tubuh pencari kedamaian. Diapun membuka selaput kepalsuan yang lama terpendam tanpa seorang pun dapat menghurai kekusutan sejarah moyang. Tidak siapa! Perlukah dilupanya bumi Cabanatuan begitu saja atau gending itu mengajarnya tentang kemanusiaan dan keluhuran! Ah, pedulilah. Diapun memilih untuk menabuh gending dan serimpi menyatu ke sukma serta gamitan ilmu dari guru alami.


...Upacara sekaten bermula sebentar lagi. Paduka Ratu akan berangkat tepat setelah waktu isyak. Gong Munggah disucikan. Begitu juga gamelan sekaten telah diarak masuk dan puteri-puteri kecil akan memulakan arakan sajen. Dan Mus Suryodiningrat...!


" Ya, Jeng Ayu..." Aku tersentak dari halusinasi jauh mengusik. Cepat mengembali ingatan dan suasana. Malam nanti ada pertemuan dengan dengan wakil kedutaan di Jalan Ampang. Tetapi Nico acuh saja..., " Bawa aku ke halaman hening".


Halaman hening? Mujur dalam keretaku masih ada beberapa buat kaset gending Bali. Mungkin serimpi telah mengajar tentang keheningan . Atau pendet mengajar tentang ketangkasan tetapi justeru kemuliaan hidup.


" Kau takkan mengerti. Sesipaq pun sukar percaya bila Tagalog Cabanatuan bisa betah dalam sila di pendopo. Kala angin senja solo dengan setianya memberi citra, setelah serimpi memberi pesan keabadian dan aku bangkit dari mimpi kesakitan...pokoknya di sanalah aku menemui akarku. Tiada duanya pusaka budaya kita di dunia ini. Kau juga begitu Jeng?"


" Serimpi?"


" Gending segala gending ".


Sungguh Nico telah menghayati jauh falsafah kekawin Sebagai putera Nusatara dengan label Mas Suryodiningrat, bukan sebarang orang bisa tembus ke telaga sucin di pekarangan rahsia kraton . Dia telah diterima di situ. Dia jugasudah menyatu dengan kerabad dalem Puri Ubud. dia turut menabuh gendang dalam upacara pendeta di bukit. Menari tanpa penonton , bayangkan siapakah mereka?


" Nic!...Mas Suryodiningrat..!"


Hati, hati kukejuti putera Nusantara itu. aku pula gementar bila menatap sang putera. Bagai seorang pengasuh begitu perlahan ku sentuh ubunnya. Malam nanti masih ada upacara terakhir. Malam perpisahan di kedutaaannnya. Dia telah diundang. Sehingga seterusnya, bayangkan saja dalam acara rasmi begitu warga Tagalog Cabanatuan datang dengan pakaian batik, kemeja berwarna coklat dengan motif sayap geroda penuh aroma asli bekas lipatan tekstil Solo. Sesosok tubuh sasa muncul dalam arena tamu yang dipenuh wajah-wajah tampan berbaju barong sutera benang nanas berwarna lembut. Lalu kudengar desis sang putera Nusantara,


" Kau lihat saja. Mereka begitu bangga dengan sulaman gaya Sepanyol -Mexico, duh Jeng Ayu!"




***


Ogos 1988


(Dewan Budaya, Februari 1989)


No comments: