MELAYU DARAH - PUSAKA WARIS

Hassanuddin ARENAWATI

" Saya bukan Melayu Politik, bukan Melayu Korporat. Tapi saya MELAYU DARAH"

Hassanuddin kembali menuturkan apa yang pernah diungkap oleh ayahandanya Allahyarham ARENA WATI. Ya dia adalah putera tokoh sasterawan kita lelaki pelaut. Lelaki Bugis atau Makassar lebih menjadi Jantan, harus keluar dari kepompong, apa lagi kalau bumi diombrak ambrik oleh penjajah. Demikian juga dijelaskan dalam pertemuan terakhirku (November 2008) dengan beliau sebulan sebelum Pak Arena di masukkan ke wad di HUKM. Begitulah seakan suara tokoh Sasterawan Negara melantun-lantun bila kami para penulis bertemu dalam acara pelancaran buku terbitan Institut Terjemahan Negara pada 19 Mei lalu di Putrajaya. Kalau kawan-kawan lain berkerumun untuk berjabat tangan, menjengah wajah ke arah Menteri, saya lebih senang diam-diam aje, ambil makanan, ambil gambar. Dan wajah anakanda Sasterawan Negara ini, mengingatkan saya dengan wajah sang tokoh waktu muda kutemui di studio Naz Achnaz di lorong Chowkit (sekarang jalan mengarah ke PWTC) atau ketika saya mencuri tutur kata para seniman ketika itu: Pak Sako, Bung Dolah (Datuk Abdullah Hussin), Boestaman saling berdebat di Pustaka Antara (tahun 1967) . Tutur Pak Arena lagi , " Akan sia-sialah Melayu itu, kalau kita masih saja, bertepuk bertandak...kerana asik bersabung ayam: menang sorak kampung tergadai ".

Melihat wajah TPM petang itu yang sudah berkali-kali bertutur dalam bahasa Inggeris di kaca TV, saya terlontar lagi jenaka Arena Wati dalam trilogi Busa Kalbu tentang Perdana Menteri,

Bakal Perdana Menteri

Terlelap pada hujung dini hari

Tidurya bermimpi berkelahi diri sendiri

Dibantai hujan tak sedarkan diri

Kepalanya tersadai di atas landasan keretapi

Terakhir tambah Pak Arena, Melayu itu bukan OLEH pada kulit sawo matangnya, tapi oleh semangat cinta BUDI ALAM MELAYU dengan latar Agama yang bertungak pada IMAN.

(untuk lebih lanjut, sila habiskan novel triologi Allahyarham terbitan DBP 2002).

Petang itu kami berpisah dengan janji Hassanudin akan menyiapkan lakaran rumah sewa mereka, rumah papan bumbung limas di Setapak mengarah ke Jalan Gombak tidak jauh dari Kampung Puah. Di depan rumah itulah saya pernah berlarian malam, dari rumah sewa kami di Setapak menuju Kampung Bandar Dalam kerana Ayah Dei diserang lengkingan kejang dan saya harus memberi tahu dan menjemput dukun di Batu 4.

Al Fateha buat Allahyarham Sasterawan Negara kita. Amin