Tuesday, 9 November 2010

WITIR SELA MERAPI, 2003


Witir Sela Merapi, Galeri Melora, 2003 (RM 30)


SEJAK zaman Sekolah Menengah Rendah (Indonesia, SMP), kami sudah belajar dengan rajin, menatap peta geografi. Zaman awal tahun 1960an, ada guru Ilmu Alam yang rajin bercerita tentang mitos gunung. Kebetulan sang guru dari keturunan Minang...kerap bercerita Merapi di Ranah Minang. Kemudian beliau juga bercerita tentang Merapi di Jawa. Aku sudah memasang impian, akan naik ke lereng Merapi. Siapa menduga tahun 1970 aku sudah menetap di sanggar Saptohoedoya di Karangwuni, Jalan Kaliurang menghala ke Gunung Merapi. Di ASRI , dalam kelas sketsa Pak Nyoman Gunarso mengheret kami naik ke puncak Kaliurang untuk tugas merakam suasana lereng Merapi. Dalam gerimis hujan, membasahi alam, kerja amali terus berjalan. Titis hujan memercik kertas, tinta hitam kembang buyar dalam gerimis...aku terbayangkan inikah air mata Merapi. Bagaimana kalau yang gugur dan berembesan itu pecahan belerang atau kepulan kepundan?





Setiap hujung bulan, kami akan meninjau lereng Merapi untuk berkelah di anak kali yang memercik di tepian sawah ladang. Aku barangkali yang kerap mengintai desah seakan menunggu bilakan lahar meledak dan tumpah ? 4 tahun di Jogya, Merapi adem dan damai.

Hanya kerja mula kuganti. Merapi kujelangi setiap tiba di Jogja. Dari garis sketsa hitam putih, sesekali membawa kanvas, memicit cat minyak atau di celah jendela sanggar Kartika di Pakem masih menatap puncak Merapi yang akan menyisip sayap menari dalam silat gelombangsari dan kau damai di sana.


Tahun 2003, aku kembali menjengahmu Merapi. Setelah jalan untuk masuk ke Acheh dilarang bagi warga asing, Fozan menyaran aku kembali saja ke Jogja. Kami sekali lagi ke lerengmu, bagai mendakap jenjang leher kekasih, kudakap aroma embun pagi, melukis pipimu yang sedang sarat dikepungi awan. Masih dalam gerimis, masih sempat kupetik bunga lalang, seperti selalu aku ke lerengmu, meninggalkan jejak sambil mengintai, masihkah Mbah Merdjan dapat kukunjungi? Bukankah beliau pernah menghulur jagung bakar dan menghidup unggup api, ketika kami menumpang di pondoknya?


Malam itu kucatat dalam kesunyianmu " Witir Merapi"
...
aku si yatinm piatu
kembali mencecah lereng kepundan
wap Merapi basah
kau dengarkan witir sejak Isya'
merayap ke rumah petani
nun di desa Balong
ke petak sawah
yang subur digembur
menunggu musim menggubah

*

kau dengarkan lagi
pesinden dan gema gending
lelah petani di permatang
pacul di tangan
keringat teralir ke tubuh perkasa
wahai putera Merapi
aku tiba menyambut malam
witir dan tasbihmu
menyatu dalam dalam doaku
*
(Pakem, Jogya , 26-31 Okt0ber 2003)
*
26 Oktober 2010
Merapi, kau pendam
dendam berzaman
tepat Kau muntah kepundan
Ya Ghafar
tanda uji
tak terhindar lagi !
percikan doa
yang menyahut gengam
salamMu!!!
Al-Fatehah
*
10 Nov 2010

No comments:

Post a Comment