Di kota pantai timur yang kukira begitu padat dengan nuansa Islamis, siang wanitanya berkerudung di pasar , ke pejabat, sopan dengan tugas harian kaum Hawa, tanpa ku duga seorang teman lama (sama-sama belajar di rantau lebih 30 tahun lalu) menjemputku di penginapan tidak jauh dari pantai
- " Ayuh, mari hirup udara malam, kota cantik kami" . Jam sudah menunjukkan pukul 10 malan.
- "Mahu Kemana, saya udah makan?"
" Hirup udara segar di pantai. K.L mana ada pantai ".
" Hirup udara segar di pantai. K.L mana ada pantai ".
Tahu kemana? masih ada ruang untuk santai? Dia datang dengan kereta mewahnya. Maklumlah dia punya klinik, tentu saja banyak pautan masuk. Pelanggannya ku kira pasti Datin-datin, Puan Seri, pasti dia tergolong dalam kelompok elit di pantai timur ini. Tanpa kuduga dia membawa kami ke ruang santai, dari luar sudah berdengung irama muzik, berirama lembut, tetapi di ruang dalam hanya beberapa orang tetamu. Kerusi sudah diduduki 3 orang wanita sambil menghirup minuman dalam gelas, mungkin jus atau fresh lime. Ya malam makin larut pasti para Hawa sudah berada di rumah. Tapi telingaku menangkap suara teman yang membawaku ke situ " - tunggu saja sebentar lagi mereka akan sampai, kita melantai! " Hah melantai (maksudnya menari). Aku bukan kaki tari, walau lagak macam orang suka pergi disco waktu muda ! Setengah tidak percaya, muzik sudah bergema. Tiga orang lelaki berada di pentas, memainkan muzik yang memang sesuai untuk menari. Dan penarinya..hahaha hanya wanita. Tralalala.. ada yang nemakai kerudung pendek, ada yang sudah mengerbang rambut (menanggalkan tudung siangnya). Muzik bertukar irama, ada suara meminta lagu mambo, twist, berganti joget, dan juga poco-poco. Aku setengah ternganga, kaget, bila namaku di laung dari penyanyi di atas pentas, " ayuh prof, mari lah menari bersama". Aku tersengeh hanya melambai tangan, tidak akan menari sebaliknya mengeluarkan buku sketsa dan mula melakar. Ku lakar dalam remang cahaya, seorang wanita lingkungan menjelang usia 40 tahun memakai blaus pendek, seluar ketat, sedang menggelek punggung, seorang wanita lain mencecah usia penghujung 50 tahun dengan gembira juga asyik menaikan kaki, menggesel ke lantai dengan rentak twist. Dan aku yang tidak lagi menjengah ruang tari di pub, disko, hard rock cafe di KL (kecuali menonton makyung, gamelan di ASWARA) terpinga....memasuki ruang malam wanita setengah korporat dan elit (ada doktor, pengurus butik , ibu yang sepi ditingggal anak-anak yang sudah membesar datang dengan suami - pemuzik). Kesian juga pada diriku, tidak lagi dapat masuk ke ruang dangdut, walaupun beberapa teman penyelidik, prof kerap juga menari-nari menyanyi di hotel kala kami menginap ketika menghadhiri seminar. Weh eeheh.
wow!sungguh menggemparkan..:)
ReplyDelete